SUARABATAM.COM, Batam – Sering muncul pertanyaan tentang bagaimana hukumnya wirid atau zikir dengan bersuara atau bahkan dengan menggunakan mikrofon setelah pelaksanaan shalat, terutama setelah shalat subuh, magrib dan isya’ berjamaah di masjid. Tentu kasus seperti ini kerap ditemukan di masjid-masjid di sekitaran kita dari dulu hingga sekarang.
Secara pribadi, saya dibesarkan dilingkungan yang seperti ini. Masih melekat jelas dibenak betapa khusu’nya para jamaah shalat subuh, magrib dan isya’ melakukan wirid dan kemudian diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh imam masjid. Aktifitas semacam ini, seingat saya, dilakukan oleh semua masjid, mushalla atau surau yang ada di kampung saya atau diluar kampung saya bahkan dirumah-rumah yang letaknya jauh dari masjid. Justru, saat ini seperti ada yang “hilang” tatkala muncul banyak masjid yang tidak melakukan wirid atau zikir jahr setelah shalat fardhu berjamaah. Masing-masing jamaah zikir sendiri-sendiri dan berdoa sesuai dengan hajat masing-masing. Itupun bagi yang terbiasa berzikir. Bagi yang tidak biasa berzikir tentu saja langsung bergegas keluar masjid. Mirisnya, jamaah sendiri tidak lantas mengerti apalagi jika diminta menjelaskan secara empiris kenapa melakukan wirid jahr (bersuara) atau kenapa melakukan wirid sirr (tanpa suara).
Dari fenomena inilah saya kira pertanyaan diatas selalu ditanyakan. Memang pada dasarnya, hal ini merupakan masalah fiqhiyah yang tidak lepas dari perbedaan pendapat yang kita kenal dengan istilah khilafiyah. Namun, yang harus dipahami adalah bahwa di dalam mengkonstruksi sebuah hukum dalam Islam, pemahaman terhadap ayat, hadist, hingga ijma’ ulama harus komprehensif dan meluas. Bahkan wilayah maslahat dan filosofi Syariah juga harus taken into consideration sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan bangunan hukum dengan status yang fleksibel. Setidaknya, segi khilafiyah suatu kasus tidak membuatnya menjadi rigid sehingga penerapannya juga bisa berbeda atau disesuaikan. Namanya saja ikhtilaf.
Kita berangkat dari dimensi sejarah. Ini penting sebagai starting point karena wirid atau zikir ba’da shalat merupakah sebuah aktifitas. Oleh karenanya, fondasi utama yang harus kuat adalah pernah atau tidak hal ini dilakukan oleh Nabi SAW dalam sejarah dakwahnya. Inilah yang kita kenal dengan formulasi الأصل فى العبادة التوقيف (Hukum asal suatu ibadah adalah tauqif) bahwa segala bentuk ibadah itu bisa ditentukan hukumnya setelah adanya dalil. Oleh karena itu, dalil pertama dalam hal ini adalah hadist yang menunjukkan apakah Nabi SAW pernah berzikir dengan suara yang terdengar setelah shalat ataukah tidak?
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Beliau berkata bahwa sesungguhnya mengeraskan suara ketika berzikir selesai shalat fardhu telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW. Bahkan beliau, dalam redaksi yang lain mengatakan, “Saya mengetahui bahwa mereka (Nabi SAW dan para sahabat) telah selesai dari pelaksanaan shalat ketika saya mendengarkannya (lantunan zikir).
Dari fakta sejarah ini, aktifitas berzikir atau berwirid bersama-sama merupakan suatu aktifitas yang biasa dilakukan dan bukanlah barang yang baru atau diada-adakan. Tidak ada dasarnya jika kita menafikan hal ini. Terlebih lagi jika kita mengadakannya sebagai suatu aktifitas yang menjerumuskan kepada dosa. Logika mana yang bisa menerima jika lantutan takbir, tahmid dan sebagainya diserukan bersama penuh kekhusyukan. Bahkan bisa jadi ia akan mampu menggetarkan bathin dan hati bagi yang mendengarnya. Tentu saja lantunan wirid dan zikir tersebut dilakukan dengan ritme yang melodius, tidak dengan suara yang serampangan, teriakan yang memekikkan atau berlebih-lebihan.
Terlebih lagi, jika kita rujuk kepada sebuah hadist qudsi riwayat Bukhari-Muslim, dimana Nabi SAW bersabda:
Allah Ta’ala berkata, “Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia MENYEBUTKU SECARA BERJAMAAH atau DENGAN SUARA YANG KERAS (terdengar) maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia.
Yang harus dicatat adalah terdapat banyak hadist yang mendukung wirid atau zikir jahr ini. Terlalu banyak jika kita tampilkan satu persatu. Setidaknya ada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurarirah dalam Shahih Bukhari, Muslim, Sunan at-Tirmidzi dan Ahmad. Panjang hadistnya. Juga ada hadist dari Jabir yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak. Sahabat Anas bin Malik juga meriwayatkan hadist mengenai hal ini yang bahkan oleh Syeik al-Albani hadist dari Anas ini dianggap hasan statusnya. Syeikh al-Albani juga meng-shahihkan hadist dari Abu Said al-Khudri tentang perkara ini. Setidaknya ada puluhan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh para sahabat dalam konteks bolehnya wirid atau zikir jahr setelah shalat fardhu.
Ada hal menarik lain sesungguhnya. Syeikh Ibnu Utsaimin suatu hari pernah ditanya oleh seorang jamaahnya mengenai hal ini, yakni hukum zikir berjamaah dengan suara yang terdengar setelah shalat fardhu. Lantas apa respon beliau? Syeikh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa hukum mengangkat suara dalam zikir setelah shalat fardhu adalah sunnah, kecuali jika disekeliling kita ada orang lain yang sedang shalat masbuk dan khawatir menganggu. Dalam kondisi seperti ini, suara sebaiknya dipelankan. Apa dalil yang beliau sandarkan terhadap pendapatnya ini? Justru hadist dari Ibnu Abbas yang disebut diatas.
Kalau mau jujur, tidak hanya pendapatnya Syeikh Ibnu Utsaimin saja yang bisa dijadikan hujjah bolehnya berwirid atau berzikir dengan suara setelah shalat fardhu. Masih banyak pendapat para ulama yang mendukung hal ini jika kita mau fair dan terbuka. Contohnya saja pendapatnya pendapat Imam as-Suyuthi dan Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani.
Sebagian ulama yang berlainan pendapat berhujjah pada ayat ke 205 dari surah al-A’raf :
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِى نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ….
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang….”
Namun, dalam memahami ayat ini, tidak harus secara gamblang tanpa adanya penelusuran lebih komprehensif. Terlebih jika hal ini menyangkut dengan aktifitas ibadah dalam Islam. Tuntunan ulama dalam hal ini sangat jelas bahwa di ranah ibadah, kita harus bersandarkan logika, akal dan ilmu serta hujjah yang semuanya berasal dari ulama. Bukan asal-asalan. Inilah salah satu kebenaran Islam sebagai sebuah agama.
Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat logis terhadap ayat di atas di dalam kitabnya Natijat al-Fikr fi al-Jahr bi adz-Dzikr. Menurut beliau, ayat 205 dari Surah al-A’raf ini turun di Kota Makkah. Pada saat itu, dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW masih dalam bentuk gerilya dan diam-diam. Secara politis, eksistensi umat Muslim masih sangat lemah dengan jumlah yang masih puluhan. Tekanan dalam bentuk hinaan, siksaan bahkah pembunuhan selalu membayangi mereka. Konsekwensinya, dakwah harus secara sembunyi-sembunyi dan zikir atau wirid mesti dilakukan dengan cara yang hening agar tidak mengundang ancaman terhadap kaum muslimin. Selanjutnya, terhadap ayat diatas, oleh sekelompok ahli tafsir seperti Abdurrahman bin Yazid guru dari Imam Malik dan Ibnu Jarir menafsirkan perintah untuk tidak mengeraskan suara ini adalah disaat membaca al-Quran.
Setidaknya, mungkin kita bisa mengutip perkataannya Imam Syafi’i dalam Kitab al-Um. Beliau berkata, “Saya mengutamakan para imam dan makmum berzikir dengan suara yang pelan, kecuali jika sang imam meniatkan suara zikir yang terdengar itu sebagai tarbiyah sekaligus mengajarkan kepada jamaah bacaan-bacaan zikir yang ma’tsurah”. Inilah yang dahulu diajarkan oleh Kiyai saya saat dulu di pesantren. Saya yang tadinya tidak hafal bacaan wirid ba’da shalat, akhirnya hafal luar kepala karena setiap hari mendengarkan itu dari imam yang memimpin shalat.
Jalan tengahnya, menurut saya, lantunkan zikir atau wirid setelah shalat magrib, isya’ dan subuh dengan suara yang merdu dan sahdu. Saya yakin, lantunan tahlil, tahmid, tasbih dan sebagainya itu bermanfaat bagi para jamaah dan orang yang mendengarkannya. Lagu dangdut yang melankolis saja bisa membuat pendengarnya menangis, apalagi kalimat tayyibah. Terlebih lagi banyak kita lihat saat ini masjid atau mushalla didirikan di area yang terdapat banyak warung atau tempat keramaian di sekitarnya. Dan seringkali alunan adzan berlalu bergitu saja tak dihiraukan oleh orang-orang sekitar. Harapannya, semoga wirid atau zikir yang sahdu tersebut dapat menyentuh relung hati saudara-saudara kita yang sedang asyik ngopi atau ngobrol di warung itu untuk ikut melangkahkan kaki sejenak ke masjid. Lihatlah, disaat kita khusyu’ shalat berjamaah di masjid, 10 atau 20 meter di samping masjid saudara seiman kita masih asyik ketawa-ketiwi dengan segelas kopi atau sebatang rokok. (Sahabat saya sering bergumam percuma ada masjid jika tidak menyebarkan pengaruh). Lantunkanlah wirid itu, ada banyak sisi positifnya, percayalah…! Bukankah diantara kita jamaah masjid masih banyak yang belum fasih dalam melantunkan bacaan zikir? Sekalianlah kita belajar disitu. Paling tidak, janganlah kita melakukan sesuatu hanya berdasarkan ikut-ikutan. Harus ada ilmu dan hujjah yang logis melalui perkataan para ulama.
Namun, sekali lagi, suara yang merdu. Tidak perlu seperti qori atau artis penyanyi papan atas itu. Cukup sewajarnya. Kalau suara zikir atau wiridnya memekikkan telinga, menghilangkan selera makan atau sampai memperparah sakit gigi, “bungkus” sajalah. Wallahu A’lam bi ash-Showab. (Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.)
Discussion about this post